Urgen, Konsolidasi Kebangsaan!

“Tanggal 20 mei senantiasa diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Untuk me-refresh jiwa kebangsaan kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia, saya rekomendasikan untuk membaca artikel di bawah ini yang saya dapatkan dari kompas, nanti kita diskusikan, apakah konsep yang ditawarkan oleh Kiki Syahnakri dapat menjawab tantangan bangsa Indonesia kini dan masa depan”

Oleh: Kiki Syahnakri

Tidak sekadar diperingati secara seremonial, momentum historis Kebangkitan Nasional 20 Mei patut diperdalam maknanya dengan refleksi kritis-obyektif dan visioner terhadap realitas keindonesiaan kontemporer.

Refleksi kritis disertai pertimbangan langkah strategis perlu dilakukan karena, setelah 65 tahun merdeka, kondisi Indonesia masih amat jauh dari tujuan nasionalnya. Gerak maju kita bahkan tertinggal negara tetangga yang merdeka belakangan, seperti Malaysia dan Vietnam. Pembangunan multi-aspek bangsa yang mengalami turbulensi berat akibat krisis ekonomi beberapa tahun lampau masih tersendat, bahkan ada aspek yang tampak mengalami stagnasi dan disorientasi karena dililit persoalan multidimensional.

Refleksi historis

Pasca-Kebangkitan Nasional 1908, spirit persatuan dan kesatuan bangsa mengalami ”periode emas” karena seluruh anak bangsa digerakkan oleh motivasi nasionalis-patriotis yang sama. Spirit itu memicu gerakan pembebasan dan menggelindingkan bola salju perjuangan semesta Indonesia menuju kemerdekaan, kemudian menemukan ”titik api”-nya tatkala 28 Oktober 1928 Sumpah Pemuda dikumandangkan. Semangat ”kekitaan” berhasil melebur hasrat ”keakuan” dan ”kekamian”, jiwa perjuangan dan persatuan-kesatuan bertambah kokoh-kuat dan berkulminasi pada 17 Agustus 1945.

Namun, pada perjalanan selanjutnya, Pancasila yang diidealkan sebagai common platform RI mulai mengalami ujian serius. Dari era Orde Lama yang secara eksperimental menerapkan Demokrasi Terpimpin dan memaksakan Nasakomisasi, lalu pada era Orde Baru terjadi banyak deviasi implementasi Pancasila karena kepentingan kekuasaan yang sekaligus membelenggu demokrasi. Memasuki era Reformasi dengan menggelar demokratisasi (liberal) disertai kebebasan yang nyaris tanpa batas telah membawa Indonesia ke dalam situasi yang sarat kerawanan.

Reformasi tidak mengantarkan kita pada perbaikan, tetapi malah menambah berbagai persoalan mendasar dari perspektif keindonesiaan, seperti lunturnya jati diri bangsa, memudarnya wawasan kebangsaan, terpangkasnya kedaulatan negara-bangsa oleh kekuatan asing yang masuk melalui tangan-tangan neolib dan kapitalisme, serta tergerusnya nilai-nilai luhur budaya bangsa akibat serbuan globalisasi yang belum dikanalisasi dengan baik dan efektif.

Tali-temali persoalan yang membelit tubuh bangsa ini terasa kian sulit diurai dengan rapuhnya kepemimpinan dan krisis keteladanan pada setiap level dan segmen masyarakat serta rendahnya daya kendali pemerintah terhadap aneka problematika. Kondisi ini berpotensi menyesatkan bangsa dalam labirin yang membingungkan—tidak tahu ada di mana, hendak ke mana, dan dengan cara apa—yang kian diruwetkan oleh beragam kepentingan pribadi atau golongan yang bersifat jangka pendek.

Konsolidasi kebangsaan

Menilik kompleksitas persoalan aktual tersebut, betapa urgen melakukan evaluasi dan reorientasi kehidupan bangsa dengan melakukan ”konsolidasi kebangsaan” sebagai berikut.

Pertama, tinjau ulang UUD 1945 hasil amandemen. Pekerjaan akbar ini tak dapat dilakukan secara instan, butuh waktu serta pelibatan masyarakat seluas-luasnya. Hal fundamental-esensial adalah mengembalikan konstitusi kita pada ”roh” mukadimahnya yang secara legal-konstitusional tetap berlaku dan seharusnya dipedomani. Pancasila harus diyakini sebagai pilihan terbaik untuk bangsa Indonesia.

Mengutip Franz Magnis-Suseno, Pancasila merupakan ”masalah kunci”, yakni persoalan pokok yang harus ”dibereskan” sehingga menjadi ideologi payung bagi semua, dan sekaligus sebagai ”kunci masalah”, pintu pembuka solusi untuk beraneka masalah kebangsaan. Kita perlu meremajakan kembali nasionalisme dengan formula utama memerangi kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.

Kedua, mengangkat budaya sebagai ”leading sector” pembangunan nasional. Keterpurukan bangsa sama sekali bukan karena kurang cerdasnya anak-anak bangsa, terutama para pemimpinnya, melainkan karena buruknya karakter dan rapuhnya jati diri bangsa. Penempatan budaya sebagai leading sector dan ”jiwa” pembangunan nasional akan bermuara pada penguatan karakter dan jati diri bangsa. Karena itu, mutlak dilakukan reformasi sistem pendidikan nasional (formal atau nonformal) dengan mengapresiasi nilai-nilai keindonesiaan selain membuka lebar pintu bagi penyerapan ilmu pengetahuan dari luar.

Ketiga, kanalisasi arus globalisasi. Siapa pun tidak akan mampu membendung arus globalisasi, tetapi memasuki era global tanpa persiapan memadai akan menempatkan Indonesia pada pihak yang kalah, bahkan dapat bermuara pada perpecahan bangsa (berkaca pada pengalaman Rusia dan Yugoslavia). Oleh karenanya, kanalisasi melalui regulasi, renegosiasi, restrukturisasi, dan deliberalisasi secara terukur dan terkontrol merupakan langkah penting yang tidak bisa ditunda. Seiring itu, upaya penguatan otoritas negara yang dalam keadaan lemah karena tersandera otoritas politik dan ekonomi global mesti dilakukan pula. Perlu kepemimpinan nasional yang kuat, tegas, dan berani untuk menganalisasi kepentingan asing.

Keempat, reformasi parpol dan birokrasi. Untuk menciptakan good governance dan mewujudkan kepemimpinan yang kuat, pola perekrutan dan pembinaan kader pemimpin harus dibenahi secara serius melalui reformasi parpol dan birokrasi sebagai wadah pembentukan (formasi) kader pemimpin. Dalam konteks ini, reformasi sektor hukum harus jadi ujung tombak. Langkah strategis di atas perlu dikampanyekan secara luas dan serentak di seluruh Tanah Air oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, termasuk LSM yang peduli masalah kebangsaan. Kampanye saja tak cukup, bahkan baru merupakan langkah pertama. Perlu langkah-langkah konkret-aktual pada tataran implementatif yang mensyaratkan keberanian, ketegasan, konsistensi, kecerdasan, kebijaksanaan, dan kebesaran jiwa para pemimpin.

Kiki Syahnakri Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI AD; Ketua I Yayasan Jati Diri Bangsa

26 Komentar

Filed under reality

26 responses to “Urgen, Konsolidasi Kebangsaan!

  1. Rudi Aditya

    saya sepakat dengan Pak Kiki tentang reformasi parpol dan birokrasi mesti dilakukan, karena sangat signifikan dalam membentuk karakter pemimpin bangsa ini. sejauh ini partai hanya dijadikan alat memperkaya diri sekelompok orang bahkan keluarga si pendiri partai.

  2. Danang

    bangsa indonesia harus sadar dan mau belajar dari sejarah… Jangan sekali-kali melupakan sejarah…

  3. Nurdin B

    Bangsa kita butuh sosok pemimpin yang bisa mengayomi dan jujur

  4. mulyono

    “Tali-temali persoalan yang membelit tubuh bangsa ini terasa kian sulit diurai dengan rapuhnya kepemimpinan dan krisis keteladanan pada setiap level dan segmen masyarakat serta rendahnya daya kendali pemerintah terhadap aneka problematika. Kondisi ini berpotensi menyesatkan bangsa dalam labirin yang membingungkan—tidak tahu ada di mana, hendak ke mana, dan dengan cara apa—yang kian diruwetkan oleh beragam kepentingan pribadi atau golongan yang bersifat jangka pendek.”

    tuh kan pemimpin itu penting keberadaannya. jadi mesti benar2 milih pemimpin

  5. Lia

    Reformasi parpol sesuatu hal yang mustahil kalau parpol masih kental dengan permainan uang dan korupsi

  6. Ade

    Semoga hari kebangkitan nasional jadi hari tonggak kesadaran untuk berbangsa indonesia dgn benar

  7. aldi

    Pancasila bukan satu2nya ideologi yang baik untuk bangsa ini. Terbukti pancasila masih prematur. kita mesti instropeksi diri

  8. julius

    Hidup bangsa indonesia 🙂

  9. Bakti

    Pak Kiki kapan ada seminar saya akan ikut ya Pak. Bapak sangat ahli dalam hal nasionalisme nih

  10. Kurnia

    Iya nih kita sebagai bangsa butuh melakukan konsolidasi, caranya dapat dengan diskusi atau seminar bahkan kegiatan2 sosial atau olahraga. Pak Kiki mohon undang saya jika ada seminar. terima kasih

  11. Anton Sakti

    Bagaimanapun saya sepakat dengan koment Mas Danang. kita mesti peduli terhadap sejarah, jangan sekali-kali melupakan sejarah

  12. Amir

    Konsolidasi kebangsaan? penting atau enggak??

    menurut gue yang penting kita sadar dan mau berubah lebih baik dengan reformasi yang berarti

  13. cepiar

    Kawan kita saat ini dalam kondisi kehilangan jati diri sebagai bangsa indonesia. alangkah baiknya jika wacana dan aksi kita dijiwai semangat kebangsaan yang utuh dan sesuai harapan para pendiri negara ini. Perjuangan belum selesai kawan!

  14. dani

    kebangsaan dibentuk dalam kehidupan sehari-hari, tapi pendidikan lah yang menjadi dasar terbentuknya semangat kebangsaan. Pendidikannya benerin dulu lah

  15. beni

    pendidikan kita mengkhawatirkan masalahnya. pemerintah sepertinya gak bisa berbuat banyak

  16. chiquita

    gak bisa donk nyalahin pemerintah mulu, emangnya apa yg udah lo lakuin?

  17. kisha

    jelas2 pemerintah kita kacau. gak bisa ngurus pendidikan dgn baik

  18. Yudha

    saya sepakat dengan pak Kiki, kita butuh konsolidasi kebangsaan. ayo semangat

  19. Riri

    sebagai bangsa indonesia kita mesti bangga dan mau maju serta mandiri, agar bangsa lain segan.

  20. bagus wijaya

    bangsa indonesia adalah bangsa yang besar, tapi sayang rakyatnya banyak hidup yang sengsara akibat ketidak becusan pemerintah yang memimpin.

  21. deni

    sudah menjadi rahasia umum setiap orang yang memerintah hanya memikirkan perutnya sendiri

  22. nurul

    memang betul tuh, kebanyakan penguasa hanya mementingkan diri sendiri. makanya kita perlu reformasi dalam segala bidang. reformasi partai politik penting, dan saya setuju dengan Pak Kiki Syahnakri.

  23. interesting article .. I like this article, because it related to my research

    thanks for sharing

  24. agungnugroho

    13 tahun masa reformasi belum mampu menghadirkan the Indonesian dream, negara yang dicita-citakan para founding fathers peletak dasar NKRI.

  25. Mustafa Baabad

    Partai-partai Politik yang seharusnya mengemban misi “Idealisme” (apapun tujuan idealnya yang mensejahterakan rakyat) dan melakukan fungsi melakukan membangun kecintaan akan Indonesia dan pendidkan politik yang bermoral, ternyata hanya memilih jalan pintas menuju kekuasaan dan semuanya hanya untuk mencari uang (merampok). Tidak ada patriotisme dan idealisme yang berusaha di sebarkan. Semuanya hanya berusaha tebar pesona dengan “bakti sosial” yang lebih kearah pencitraan dan bukan sungguh-sungguh peduli, sambil menjual “Figur” pemimpinnya. Tidak ada yang mendasar dalam sepak terjangnya. Kita betul-betul perlu sarana untuk mendidik bangsa dan melahirkan calon-calon pemimpin baru. Kalau tidak, maka saat kita menjadi orang tua dan lemah, kita akan di kelilingi para garong yang opportunis. Kejujuran yang merupakan syarat mutlak untuk saling percaya tidak pernah disebut-sebut, seakan-akan itu tidak perlu. Sungguh keadaan yang mendesak untuk diatasi. Kita harus mengingatkan bahwa kita ini “sebuah bangsa”, bukan sekedar gerombolan manusia individualis yang kebetulan tinggal di Nusantara. Mustafa Baabad

Tinggalkan Balasan ke Bakti Batalkan balasan